Postingan

Ojek Sapu Nenek Marni

Gambar
Di sebuah kota di antara gedung-gedung pencakar langit yang menggaung di udara, di antara bunyi klakson bersahutan, mobil dan motor yang berdesakan, serta transportasi umum yang penuh sesak tubuh manusia, melintaslah seorang nenek peyot dengan tudung lusuh dan jubah hitamnya. Ia melayang-layang di langit bak burung gagak dengan menaiki sapu terbangnya yang sudah tampak renta dimakan usia. Bukan legenda, bukan khayalan. Itu nyata. Ya, nenek tersebut bernama Marni. Dahulu kala, ia adalah seorang penyihir ulung yang sangat dikenal pada zamannya, ketika orang-orang masih percaya pada sihir serta ramuan ajaib. Akan tetapi zaman semakin berubah. Kini mereka lebih percaya gawai, mesin, aplikasi, dan google ketimbang mantra-mantra kuno. Sehingga, sihirnya sudah jarang dipakai. Nenek Marni yang usianya sudah lebih dari 500 tahun mulai bosan. Untuk mengisi hari-harinya yang sepi, ia membuka jasa baru, ojek sapu terbang. Pada awalnya, banyak orang menertawakan apa yang Nenek Marni lakukan. Mereka...

Perpustakaan Cinta

Gambar
  Hujan deras mengguyur langit Kota Dewara, Aylin tergopoh-gopoh mengemasi bukunya yang jatuh ke tanah. Ia berlari mencari tempat untuk berteduh. Sebuah bangunan kecil nampak di depan matanya. Tidak ada papan nama, hanya jendela kaca dan pintu kayu yang sudah menua. Aylin berdiri dibawah atap toko itu sambil menatap rintik hujan yang mulai menyentuh kasar sepatunya. Aroma petrikor bercampur dengan wangi lilin aromaterapi menguar dari dalam bangunan. Ia memeluk erat tasnya, berusaha menahan gigi yang hampir bergemeletuk, tapi bukan karena dingin semata. Pikirannya kembali mengulang momen di malam sebelumnya. Suara bentakan ayah dan ibunya yang saling bertukar tuduhan memenuhi tiap sudut rumah, makin keras dari biasanya. Ia menutup pintu kamar rapat-rapat, tapi dentuman piring yang pecah membuat dadanya ikut bergetar. Sesaat ia menunggu, berharap ada suara langkah mendekat, ada yang masuk dan menanyakan apakah ia baik-baik saja. Tapi pintu tetap diam, tak pernah diketuk, seolah ...

Resep yang Tak Pernah Ditulis

Gambar
Elena menghempaskan tas besarnya dengan kasar ke atas kasur. Pandangannya lalu beralih pada meja belajarnya yang kian penuh. Sederet tugas menumpuk seperti gunung yang tak pernah berhenti tumbuh. Laporan praktik, jurnal yang harus dikritisi, jadwal presentasi yang berjajar menunggu giliran, belum lagi simulasi konseling gizi yang menyedot energi. Mejanya itu selalu penuh kertas, stabilo warna-warni, tak lupa secangkir kopi yang isinya tak pernah kosong. Baginya, setiap hari terasa seperti maraton tanpa garis akhir. Ia berlari, dan terus berlari. Seakan ada bisikan tak kasatmata di telinganya. Jangan berhenti, Elena. Jika berhenti, kamu kalah . Di kelas pun, Elena selalu menjadi bintang. Dosen seringkali memanggil namanya, bahkan teman-temannya suka meminta saran dan bertanya perihal tugas. Ia bisa menyusun diet pasien dengan cepat, menghitung kalori dengan tepat, serta menjelaskan isi piringku dengan suara yang mantap. Siapapun tau, kelak Elena akan menjadi ahli gizi yang memilik...

Ruang yang Tak Boleh Kau Sentuh

Gambar
  Ada mata yang ingin menyentuh setiap detik yang berlalu, setiap gerak, setiap hembusan yang seharusnya hanya milik diri sendiri. Mereka menyangka rasa ingin tahu adalah bentuk perhatian, padahal kadang itu justru menutup ruang bernapas, menekan tanpa kata. Rasa ingin tahu yang berlebihan bukan hangat, bukan kagum, tapi seperti bayangan yang terlalu dekat, mengikuti tanpa jeda, hadir tanpa izin. Dan kehadiran itu membuat langkah sekecil apa pun terasa berat. Tak semua yang tersimpan perlu dibuka. Tak semua cerita pantas menjadi sorotan mata. Bukan berarti semua pintu boleh diketuk tanpa izin, karena ada ruang yang memang harus tetap tertutup. Berhentilah mengikuti setiap jejak yang bukan milikmu. Senang boleh, tapi hormati jarak. Peduli boleh, tapi tidak menguasai. Setiap langkah yang diintai tanpa izin membuat dunia terasa sempit, seakan ruang bebas itu dicabut perlahan. Ada perbedaan tipis, tapi jelas. Ketika batas diabaikan, rasa tentram perlahan sirna. Yang tersisa ha...

Pelukan di Seperempat Abad

Gambar
  Aku berdiri disini, di seperempat abad usiaku, di persimpangan antara apa yang telah kulalui dan apa yang akan datang. Aku ingin memeluk semua versi yang pernah ada, perasaan takut, perasaan ragu, bahkan jatuh dan terluka. Mereka semua bagian dari diriku, bagian dari keberanian yang diam-diam tumbuh. Aku bersyukur. Untuk tawa yang tak sengaja membuat hari terasa ringan. Untuk air mata yang mengajarkanku arti sabar. Untuk tangan-tangan yang menuntun saat langkahku goyah. Untuk hati yang masih mampu merasakan meski dunia kadang keras. Dan untuk semua pengalaman yang membentukku menjadi siapa aku sekarang. Hari ini, aku bahagia. Bahagia karena aku hidup, karena aku diberi kesempatan untuk mencintai, belajar, dan tumbuh. Bahagia karena meski jalan kadang berliku, aku tetap menemukan cahaya. Bahagia karena aku tahu, meski tak sempurna, aku cukup. Teruntuk usiaku yang semakin bertambah, aku memeluk diriku sendiri, tanpa syarat, tanpa alasan. Mengizinkan diri ini bangga atas perjalanan ...

Bahagia yang Perlahan

Gambar
  Hiduplah dengan baik, dengan perlahan. Dengan perasaan yang lebih tenang dan langkah yang sadar. Tak perlu selalu terburu. Tak harus selalu terbukti. Hidup bukan tentang siapa yang lebih cepat sampai, tapi siapa yang lebih utuh menjalani. Temukan apa yang membuatmu merasa hidup. Entah menulis di sudut kamar, menyiram tanaman di pagi yang sunyi, mendengar lagu favorit saat hujan turun, atau sekadar mencium aroma hangat baju yang baru dijemur matahari. Karena kebahagiaan tak selalu datang dalam bentuk besar. Kadang, ia sembunyi di pagi yang dingin tapi damai. Dalam kopi yang tak tumpah. Dalam tawa yang tak disengaja. Dalam pesan singkat yang datang tepat saat kamu membutuhkannya. Dalam tempat tidur yang rapi. Dalam detik-detik ketika kamu sadar: “Hari ini, aku baik-baik saja.” Ada hal-hal kecil yang tak banyak bicara, tapi diam-diam memberi rasa aman. Bukan selebrasi besar, tapi jeda sunyi yang menyelamatkan. Tenang yang datang tanpa diminta, dan menetap sebentar di dada....

Tempat Pulang

Gambar
  Salah satu hal paling sunyi sekaligus paling jujur yang pelan-pelan aku pahami, bukan karena waktu tertentu, tapi karena hidup terus membawa aku kesana; bahwa tidak apa-apa untuk berdiri sendiri. Aku mulai mengerti bahwa kehadiran orang lain bukanlah prasyarat untuk merasa utuh. Aku tak harus selalu menunggu seseorang untuk menemani langkahku, mengajakku pergi, atau menenangkan setiap kali aku merasa rapuh. Karena ternyata, keheningan juga bisa memeluk. Kesendirian juga bisa meneduhkan. Dulu kupikir dunia ini terlalu menakutkan untuk dihadapi sendiri. Terlalu besar, terlalu bising, terlalu asing. Tapi pelan-pelan, aku belajar bahwa dunia tidak harus ditaklukkan bersama banyak orang. Ia bisa dinikmati dalam keheningan. Dalam langkah-langkah kecil yang aku pilih sendiri. Ya. Dunia terlalu luas untuk terus menunggu izin dari orang lain agar kita bisa bergerak. Terlalu indah untuk terus dipandang dengan ketakutan dan keraguan yang kita pelihara. Jadi sekarang, aku mulai mengu...